LINGKARAN Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA pada 31 Oktober 2011, merilis hasil riset mengenai buruknya kualitas politikus muda. Disimpulkan, saat ini masyarakat kecewa terhadap para politikus muda. Penyebab kekecewaan tersebut salah satunya adalah sejumlah politikus muda terlibat kasus korupsi.
Kondisi ini memang cukup ironis, apalagi semula mereka diharapkan dapat membawa perubahan bagi bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Kenyataannya tidak sesuai harapan, sehingga berujung pada kekecewaan masyarakat.
Dari survei yang dilakukan hanya 24,8 persen saja publik yang percaya kepada politikus muda. Artinya selain dari jumlah itu publik menganggap politikus muda masih sangat buruk kiprahnya. Alasan kekecewaan masyarakat antara lain karena adanya sejumlah politikus muda yang tersandung kasus korupsi sepanjang tahun 2011.
Beberapa politikus muda yang dimaksud, yaitu Muhammad Nazarudin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng terkait dalam kasus Wisma Atlet SEA Games di Palembang dan Muhaimin Iskandar terseret dalam kasus ”Kardus Durian”.
Tak hanya di Partai Demokrat, Nazaruddin ternyata juga menyeret politikus muda dari Partai Golkar. Sebagaimana dikutip media online di Jakarta, Wakil Presiden Kabinet Indonesia Muda (KIM) Poempida Hidayatullah disebut-sebut menjadi koordinator dalam proyek pengadaan alat laboratorium Paket D Departemen Perindustrian.
Seperti biasanya, pihak-pihak yang disebut pun ramai-ramai membantah dan menyerahkan kasus tersebut ke proses hukum. Sayangnya, proses hukum sendiri mengundang pertanyaan. Misalnya tentang sikap pihak Mabes Polri yang dinilai terlalu tergesa-gesa menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik terhadap Anas Urbaningrum.
Pasalnya banyak kasus korupsi yang seharusnya dituntaskan terlebih dulu, namun kasus pencemaran nama baik yang diproses lebih dulu. Meski nantinya mereka selamat dari jeratan hukum, publik tetap menganggap mereka tidak dapat terlepas dari masalah hukum.
Alasan lain, partai yang dipimpin kaum muda tesebut malah menjadi partai bermasalah. Sebut saja Partai Demokrat yang dipimpin Anas Urbaningrum dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dinakhodai Muhaimin Iskandar.
Apalagi, ekspetasi publik kepada politikus muda — yakni anggota atau pengurus partai politik atau organisasi masyarakat yang berusia di bawah 50 tahun — sangat tinggi. Harapan tinggi ini tidak sesuatu dengan fakta di lapangan sehingga yang memuncak adalah kekecewaan.
Gunung Es
Kasus yang menimpa Nazaruddin dan kawan-kawan itu ibarat gunung es. Di bawah permukaan sebenarnya masih cukup banyak politikus muda yang tersandung kasus sama. Masalah sistem menjadi penyebab mereka tersandung. Misalnya dalam pendanaan partai politik yang masih tidak benar.
Berbagai pihak menyoroti tentang tidak adanya bentuk sumbangan sukarela anggota partai serta donasi publik yang terbuka. Kenyataannya, anggota partai justru melakukan setoran ilegal, kemudian donasi publik pun cenderung untuk membuat kesepakatan jangka pendek atau deal politik tertentu.
Sejumlah pengamat menyatakan tidak heran jika terus muncul sederet nama politikus muda yang diduga ikut terlibat dalam permainan proyek yang berbau korupsi. Pasalnya, sistemnya masih belum transparan. Jadi sistemlah yang banyak memberi peluang manipulasi, termasuk proses politik yang terlalu menghabiskan biaya besar.
Bayangkan saja, Ketua KPK Busyro Muqoddas melansir untuk menjadi anggota DPR RI saja membutuhkan dana Rp 2 miliar. Jika tidak memiliki dana sendiri maka mereka akan memerlukan sponsor sebagai penyandang dana dengan imbal balik, minimal mereka harus utang terlebih dulu.
Jadi, mengenai kasus masuknya aliran dana ke politikus muda itu terjadi karena kebiasaan di kalangan elite politik. Ini sudah lumrah sebab mereka menjadi mesin uang untuk partai. Perilaku politikus muda ini akan terus berlangsung terus kalau sistem politik tidak diubah.
Banyaknya politikus yang terseret kasus korupsi dan menyandang status tersangka diduga terkait adanya transaksi politik. Gara-gara ini juga membuat pengusaha menguasai parpol. Dalam praktik, pendanaan calon anggota DPR RI yang tidak memiliki dana untuk kampanye, biasanya dikenalkan dengan seorang donatur oleh pimpinan parpol. Jika sudah mengantongi daftar nomor caleg resmi, banyak pengusaha yang bersedia mengucurkan dana untuk kepentingan kampanye ke daerah pemilihan (dapil).
Sebagai ilustrasi, beberapa caleg dari Jakarta pada Pemilu 2009 mengakui minimal mereka sekali dalam seminggu harus bertemu dengan konstituen di dapil yang kebetulan di daerah luar Jakarta. Itu membutuhkan biaya transportasi, hotel, konsumsi dan dana lain-lain untuk mengumpulkan calon pemilih. Belum lagi biaya spanduk, baliho, atribut dan iklan di media massa untuk memperkenalkan kepada calon pemilih. Itu berlangsung berbulan-bulan hingga masa kampanye berakhir. Di sini awal terjadinya transaksi dengan penyandang dana jika terpilih.
Pembusukan
Perilaku itu telah mencoreng citra politikus muda mengingat masyarakat telah menggadang-gadang politikus muda untuk berlaku bersih. Meletakkan politisi muda itu dalam spirit mau mengubah dan bertindak maju dengan meninggalkan cara-cara lama, seperti korupsi dan lingkarannya. Seharusnya mereka dapat memanfaatkan kesempatan atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap para politikus tua dengan tetap berkomitmen dalam pemberantasan korupsi.
Kaum muda sebagai generasi baru bisa menarik garis demarkasi terhadap korupsi. Menempatkan korupsi sebagai musuh bersama yang harus dilawan dan disingkirkan. Demikian pendapat kelompok muda yang masih aktif di ormas, LSM, aktivis atau akademisi. Mereka tetap berpendapat tidak bisa digeneralisasi bahwa semua politikus muda memiliki perilaku yang sama dengan sederet nama tersebut. Namun diakui ulah sebagian politikus muda telah mencederai semangat perjuangan para aktivis pergerakan. Bahkan, mereka justru menuduh hal itu bisa jadi ada unsur kesengajaan untuk menghancurkan citra para aktivis pergerakan yang masih eksis. Bisa jadi peristiwa itu menjadi bagian dari pembusukan untuk kaum muda yang mencoba berkecimpung di dunia politik.
Akibat ulah itu terbukti sejumlah politikus senior dan pakar menyimpulkan wajar jika Pemilu Presiden 2014 diprediksikan masih bakal diisi calon presiden dari kalangan tua. Figur capres muda dinilai masih sulit muncul dan baru Pemilu 2019 anak muda bisa muncul.
Tidak meleset jika LSI menyimpulkan dalam surveinya, politikus muda pada Pilpres 2014 hanya mampu berada di lapis posisi ketiga, yaitu Anas Urbaningrum (42) Puan Maharani (38) dan Edhi Baskoro (31). Lapis kedua ditempati Wiranto (65) dan Ani Yudhoyono (59). Lapis pertama Capres 2014 masih ditempati Megawati Soekarnoptri (64), Prabowo Subianto (60) dan Aburizal Bakrie (65). (A Adib- 05)