Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Administrasi dan Kependudukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah meluncurkan program database kependudukan berbasis elektronik melalui e-KTP. KTP elektronik merupakan metode baru yang akan diterapkan pemerintah untuk membangun sebuah sistem kependudukan tunggal, terintegrasi, dan satu atap milik pemerintah.
Kegunaan e-KTP ialah untuk mencegah adanya manipulasi data kependudukan seperti kartu identitas ganda.Melalui e-KTP, setiap identitas yang dimiliki masyarakat akan terhubung secara elektronik ke database server milik pemerintah. Dengan begitu, tidak ada lagi kartu identitas fiktif atau penyalahgunaan KTP, karena nantinya hanya ada satu tanda identitas,one card one identity. Berbeda dengan KTP konvensional, di dalam e-KTP tidak hanya diisi oleh data identitas diri saja melainkan ada sebuah chip yang memuat ciri spesifik tubuh (biometrik) yang bersangkutan.
Proyek e- KTP itu akan dilakukan di lebih dari 6.000 kecamatan di seluruh Indonesia dengan menelan dana hampir Rp6 triliun. Awalnya,program e-KTP direncanakan rampung tahun 2011. Hal itu berdasarkan uji petik e-KTP yang dilakukan di enam daerah pada 2010 dinilai berhasil.Namun, ketika diluncurkan ternyata dalam pelaksanaannya di daerah masih terkendala masalah sehingga pemerintah merevisi targetnya menjadi 2012.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan, pihaknya optimistis pembuatan e-KTP bagi 170 juta warga pemilik KTP akan selesai akhir 2012.Bahkan,ia bersedia mundur apabila target tersebut tidak tercapai. ”Kalau itu (170 juta penduduk) tidak terpenuhi pada 2012,saya akan mundur sebagai menteri,” tegasnya saat menghadiri rapat dengan Komisi II DPR beberapa waktu lalu.
Minim Sosialisasi
Setelah diluncurkan, pelaksanaan program e-KTP mendapat tanggapan dari masyarakat. Mayoritas publik masih meragukan pelaksanaan e-KTP sesuai target yang ditetapkan lantaran kesiapan teknis dan sosialisasi pemerintah yang dinilai minim. Hal itu terangkum dalam hasil jajak pendapat yang diselenggarakan Seputar Indonesia. Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 54% responden tidak yakin e-KTP selesai pada 2012. Sementara 21% responden yakin e-KTP akan tepat waktu dan 25% lainnya ragu-ragu.
Jajak pendapat dilakukan melalui wawancara via telepon terhadap responden yang dipilih secara acak di enam kota besar di Indonesia selama 19–22 September 2011. Seperti diduga dari awal, terancam molornya proyek e- KTP disebabkan sosialisasi pemerintah yang dinilai kurang. Berdasarkan jajak pendapat, sebanyak 23% responden menilai sosialisasi e-KTP yang dilakukan aparat pemerintahan sudah baik. Sebaliknya, 31% responden menyatakan sosialisasi pemerintah kurang, dan 17% menyatakan cukup. Minimnya sosialisasi kemudian berdampak pada lambatnya proses administrasi e-KTP.
Berdasarkan keterangan responden yang berusia 17 tahun ke atas,sebagian besar dari mereka belum mengikuti proses pembuatan e-KTP, yaitu sebanyak 90%.Hanya 10% dari total responden yang mengaku sudah memiliki KTP elektronik. Masih banyaknya warga yang belum mengikuti proses pembuatan e-KTP dapat dimaklumi, mengingat proyek tersebut baru dimulai dan tidak seragam di berbagai kota. Selain itu, alasan-alasan klise seperti proses administrasi yang berbelit-belit, malas, dan tidak ada waktu juga menjadi pertimbangan responden.
Yang disayangkan, kelompok responden yang belum memiliki e-KTP bahkan ada yang tidak mengetahui soal program KTP elektronik. Kebanyakan dari responden yang mengetahui soal program e-KTP pun cenderung mendapatkan informasi dari media massa ketimbang dari kelurahan (lihat tabel). Berbagai fakta di atas menunjukkan betapa lemahnya sosialisasi di tingkat bawah. Kesiapan teknis di tingkat perangkat satuan administrasi daerah pun dipertanyakan. Masalah distribusi peralatan teknologi informasi adalah salah satunya.
Di Solo,terjadi keterlambatan pengiriman perangkat elektronik untuk pembuatan e-KTP. Solo mendapat jatah 29 unit alat,namun sampai pertengahan September baru 10 alat yang terkirim. Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, infrastruktur pendukung pembuatan KTP elektronik juga terlambat. Sebanyak enam kecamatan di Kupang belum mendapatkan alat-alat seperti kamera digital,printer ribbon, printer personalisasi, dan scanner digital.
Masalah senada juga dialami daerah Bantul dan Gunungkidul yang baru mendapat 34 unit alat perekam dari 58 unit yang dibutuhkan. Di Sumatera Selatan,selain koneksi internet,ketersediaan listrik yang terbatas juga menjadi masalah.Daya yang dibutuhkan peralatan untuk membuat e-KTP memakan daya 350 watt, sementara banyak daerah- daerah yang masih belum dialiri listrik.
Benahi Infrastruktur Kependudukan
Kebijakan pemerintah mewujudkan sistem KTP elektronik tentu harus diapresiasi dalam konteks upaya modernisasi manajemen kependudukan Indonesia yang tak kunjung beres. Proyek ini sangat krusial dan menjadi acuan bagi program- program kependudukan lainnya,seperti pendataan daftar pemilih tetap untuk pilkada dan pemilu. Kita tentu memahami kesulitan yang dialami pemerintah karena membuat e-KTP untuk Indonesia tidak mudah.
Negara kita berpenduduk lebih dari 240 juta jiwa dan tersebar di berbagai wilayah.Kondisi geografis negara kepulauan dan banyak memiliki dataran tinggi, letak permukiman yang tidak terpusat, serta kesulitan mendata penduduk yang tinggal di pelosok memerlukan energi ekstra bagi petugas pendataan penduduk. Karena itu, jika ingin berhasil, kendala-kendala program e-KTP yang mencakup infrastruktur dan sistem penunjangnya harus dibenahi terlebih dahulu. Pertama, pembenahan database kependudukan di tingkat manual atau nomor induk kependudukan (NIK).
Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 23/2006 tentang Kependudukan,pemerintah seharusnya menyelesaikan pemutakhiran NIK sebelum menjalankan program e-KTP. Pembenahan NIK lebih urgen karena NIK cakupannya lebih luas ketimbang e-KTP. NIK adalah identitas kependudukan yang wajib dimiliki seluruh warga dan tidak hanya warga usia 17 tahun. Menyempurnakan e-KTP dengan NIK yang masih carutmarut hanya akan menimbulkan masalah baru.Tanpa NIK yang akurat,pihak Kemendagri dan pencatat dikecamatan akan bekerja tambal sulam alias kerja dua kali untuk menyempurnakan data kependudukan.
Kedua, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memperkuat infrastruktur dan manajemen pemerintahan yang berbasis elektronik (e-government) di masing-masing kecamatan. Kecamatan-kelurahan adalah tulang punggung proyek e-KTP. Jika teknologi informasi di suatu kecamatan masih minim,mustahil bagi instansi bersangkutan untuk menyediakan database secara elektronik.Upaya ini tentunya juga harus diikuti dengan peningkatan kualitas SDM selaku operator layanan.
Sejauh ini,tidak semua daerah mampu menyelenggarakan pelayanan kependudukan melalui sistem online. Kebanyakan dari mereka pun berada di kota-kota besar.Adapun satu daerah yang cukup berhasil menjalankan sistem ini misalnya Jembrana, yang berhasil menyelenggarakan pilkada melalui voting elektronik. Daerah-daerah lain relatif masih yang tertinggal. litbang SINDO