berbagi informasi tentang Public Service. sementara fokus pada Pelayanan publik di Kota Semarang

TRANSPARENCY International (TI) Indonesia kembali meluncurkan indeks persepsi korupsi Corruption Perception Index (CPI). Indeks yang diluncu...

”Kebun Koruptor”, Mengapa Tidak?

TRANSPARENCY International (TI) Indonesia kembali meluncurkan indeks persepsi korupsi Corruption Perception Index (CPI). Indeks yang diluncurkan setiap tahun ini merupakan upaya untuk mengingatkan bahwa korupsi masih merupakan bahaya besar yang mengancam dunia.

Pada tahun ini, skor CPI Indonesia adalah 3,0 atau naik 0,2 dari tahun lalu. Selain Indonesia, ada 11 negara lain yang mendapat skor sama.

Sekjen TI Indonesia Teten Masduki menganggap skor 3,0 itu tidak menunjukkan perubahan signifikan dalam pemberantasan korupsi. Untuk menunjukkan adanya perubahan persepsi korupsi perlu ada penambahan skor minimal 0,3 dan perubahan yang konsisten dari minimal setengah dari sumber data penyusun.

Kesimpulannya, pemberantasan korupsi di Indonesia masih jalan di tempat. Virus korupsi sangat membahayakan kehidupan masyarakat. Apalagi virus itu sedemikian luas merambat kepada para pemangku amanat negara, mulai legislatif, yudikatif hingga eksekutif.

Meminjam istilah Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, virus itu mengubah dasar pemikiran dan pandangan sebagian besar masyarakat, yakni menjadi “keuangan yang maha kuasa.”

Ini yang mendorong terjadi demoralisasi dalam kehidupan bangsa. Bukan saja di ranah politik, tapi ranah sosial, bahkan merambat ke keagamaan, yang seharusnya tampil sebagai tembok moral bangsa namun ikut jebol.

Contoh kasus adalah hasil Survei Integritas 2011 yang dilansir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menempatkan Kementerian Agama sebagai instansi pemerintahan paling rentan terhadap praktik korupsi.

Kementerian Agama mendapatkan poin 5,37 atau kurang dari nilai rata-rata indeks integrasi instansi pusat sebesar 7,07.

Penyebab buruknya pelayanan publik lantaran masih diwarnai praktik suap dan gratifikasi. Unit layanan di Kemenag yang masih berintegritas rendah yakni pendaftaran izin penyelenggaraan ibadah haji khusus dan perpanjangan izin Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH).

Kondisi riil di Kemenag, pernah disampaikan mantan Presiden Abdurrahman Wahid sebelum era reformasi bergulir. Dia menggambarkan situasi di instansi itu seperti pasar, banyak transaksi-transaksi dalam pelayanan.

Tradisi

Para ahli menilai korupsi dan hedonisme para pejabat Indonesia merupakan tradisi berkuasa yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.

Korupsi Century, Nazaruddin, mafia pajak, korupsi politikus DPR dan skandal lainnya merupakan resultante dari tradisi kekuasaan.

Mengapa? Para pejabat dulu dan sekarang menganggap gratifikasi atau pemberian uang/hadiah sebagai hal yang wajar, dianggap upeti yang menjadi hak penguasa.

Korupsi dan hedonisme para pejabat dan elite itu disebabkan tidak lagi memiliki rasa malu. Itulah sebabnya mereka bisa dengan tanpa beban melakukan korupsi dan memamerkan kekayaan hasil korupsinya secara terbuka.

Bandingkan dengan para pemimpin dulu, Mohammad Natsir misalnya. Sebagai Perdana Menteri, Natsir masih memakai jas yang ada tambalannya. Juga Mohammad Hatta yang tetap bersahaja walau menjadi wapres dan perdana menteri.

Bahkan karena begitu sederhananya pula, mantan Kapolri Jenderal Hoegeng sempat tidak bisa membayar PBB rumah tinggalnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Rasa malu kini memang sudah tidak ada lagi di jajaran para pejabat dan elite negeri ini. Padahal, di negara lain pejabat yang melakukan korupsi malu dan mengundurkan diri. Di Jepang dan Korea bahkan melakukan bunuh diri (harakiri).

Menurut sejarawan LIPI Aswi Marwan Adam, pada era 1945-1949, Indonesia memiliki Jaksa Agung Soeprapto. Dia dikenal sebagai pejabat yang tidak pandang bulu memberantas korupsi.

Sudah banyak menteri yang dijebloskan ke penjara. Bahkan Soeprapto tidak ragu-ragu menindak Ketua PKI DN Aidit dan Menteri Luar Negeri Ruslan Abdul Gani. Padahal, saat itu Presiden Soekarno minta agar Soeprapto tidak memproses Ruslan. Tapi, Soeprapto maju terus dan akhirnya Ruslan dijatuhi hukuman denda.

Berharap ke KPK untuk menuntaskan pemberantasan korupsi juga tidak mungkin jika peran kekuasaan dan kekuatan politik sangat dominan dalam menentukan kepemimpinan KPK. Apabila dominasi dua faktor itu tetap dipertahankan, maka tidaklah realistis mendambakan KPK yang kuat, independen dan berani.

Karena itu, demi masa depan pemberantasan korupsi perlu digagas mekanisme lain yang lebih efektif dalam proses pemilihan pimpinan KPK. Tahapan dan proses yang dipraktikkan sekarang ini menunjukkan peran kekuasaan sangat dominan.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, menyampaikan wacana mendirikan kebun khusus bagi para pelaku koruptor di Tanah Air.

Koruptor jangan dibikin takut, tapi dipermalukan. Misalnya dibuatkan semacam ”kebun binatang” tetapi isinya khusus koruptor. Siswa sekolah disuruh piknik melihat koruptor di kebun setiap semester, tiap liburan. Toh sama-sama perilakunya seperti hewan juga. Orang yang melakukan korupsi, sebenarnya hatinya bukan manusia lagi. Di situ (kebun koruptor) ditunjukkan, inilah wajah koruptor yang dihukum 20 tahun, sekian tahun, tampilkan foto-fotonya.

Usulan Mahfud memang terkesan nyeleneh, tapi menarik untuk dijajaki. Pasalnya sekarang ini UU-nya sudah bagus, tapi penegakannya yang tidak bagus sehingga banyak yang tersandera. Dibuat kebun koruptor dalam rangka membuat malu sehingga orang-orang tidak lagi melakukan korupsi.

Sayangnya, politikus Partai Demokrat Benny K Harman memandang sinis gagasan itu. Usulan tersebut dinilai berlebihan karena menyamakan manusia dengan binatang.

Sumber :
www.suaramerdeka.com