Sabtu, akhir pekan lalu, beberapa media massa mencuatkan pernyataan menarik dari Soetrisno Bachir (Mas Tris). Pada acara pelantikan pengurus Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB-PII) wilayah Jawa Barat, Mas Tris mengatakan bahwa ”berpolitik itu lebih banyak dosa daripada pahalanya”.
Mas Tris juga mengatakan bahwa dirinya merasa beruntung bisa keluar dari partai politik (parpol) karena dengan demikian bisa mengurangi dosa-dosa. Bahkan seakan hendak memberi fatwa atau petuah layaknya ahli hikmah atau ahli agama, Mas Tris mengatakan keluar dari parpol itu ibarat ”keluar dari kegelapan menuju kecerahan”. Saking yakinnya atas pernyataannya itu, sampai-sampai Mas Tris menggunakan ungkapan yang sangat dekat dengan ungkapan agama yang dipakai saat Nabi Muhammad mengajak masuk Islam kaum Quraisy, yakni agar manusia bisa keluar dari alam jahiliah (kebodohan) menuju alam hidayah (kecerdasan).
Dengan maksud yang sama, dalam khazanah Islam ada ungkapan bahwa Muhammad datang membawa agama Islam adalah untuk mengeluarkan manusia dari alam al-dzulumat (kegelapan atau kejahatan) menuju al-nuur (kebenderangan atau kecerahan). Tak sulit untuk menyimpulkan bahwa menurut Mas Tris berpolitik melalui parpol itu adalah kegelapan alias kebodohan atau jahiliah; keluar dari parpol berarti keluar dari kejahilan atau keburukan. Pernyataan Mas Tris itu tentu merupakan pukulan telak bagi parpol, tepatnya bagi para aktivis parpol.
Bayangkan, parpol dianggapnya sebagai alam kegelapan (jahiliah) sehingga dirinya merasa beruntung bisa lepas dari cengkeraman parpol. Kritik ini tidak main-main karena pelontarnya, Mas Tris, adalah mantan ketua umum sebuah parpol yang cukup punya nama,yakni Partai Amanat Nasional (PAN). Predikatnya sebagai mantan ketua umum PAN memberi bobot tersendiri atas kritik yang dilontarkannya, artinya kritik itu bukanlah gumaman kosong, melainkan berangkat dari fakta empirik yang pernah menerpa dirinya.
Pernyataan Mas Tris pun dikonfirmasi secara kuat oleh realitas politik kita pada saat ini. Harus diakui, sekarang ini, faktanya parpol-parpol memang sedang dalam krisis sebagai pilar aspirasi rakyat, bahkan kerap kali dianggap sebagai simpul kejahatan korupsi, sekurang kurangnya kalau kita dengarkan pendapat masyarakat yang diteriakkan secara garang melalui berbagai media massa.
Persoalannya, bisakah diartikan bahwa mengikuti parpol itu adalah jahiliah dan sesat? Manusia adalah zoon politicon, makhluk yang tak mungkin tak terlibat politik, apalagi jika kata politik dikaitkan dengan istilah polis yang sejak zaman Yunani Kuno berarti negara. Artinya, setiap manusia sejak lahir sudah terikat dalam sebuah organisasi negara (polis) sehingga tak mungkin hidup di luar negara.
Berpolitik dalam arti tertentu adalah melakukan kegiatan untuk memengaruhi kebijakan (policy, politik) negara karena kebijakan negara itu menyangkut kepentingan bersama. Dengan demikian pernyataan Mas Tris tidak boleh diartikan–– dan memang pasti tidak dimaksudkan––bahwa kita harus menjauhi politik. Berpolitik itu merupakan keniscayaan, tetapi berpolitik memang tidak harus melalui parpol. Di dalam studi ilmu politik, ada perbedaan antara organisasi atau partai politik dan gerakan politik.
Memengaruhi kebijakan publik (berpolitik) bisa juga dilakukan tanpa harus melalui parpol, melainkan melalui gerakan politik seperti melalui ormas, LSM, lembaga pendidikan atau bentuk-bentuk lain. Dalam konteks inilah kita memahami petuah Mas Tris, yakni dalam konteks: berpolitik tanpa harus masuk partai politik. Persoalan berikutnya, apakah dengan demikian parpol, yang dianggap sebagai biang penyakit koruptif, harus ditiadakan? Inilah yang tak mungkin dan tak boleh terjadi.
Di dalam negara demokrasi adanya parpol merupakan keharusan. Tak dapat dibayangkan demokrasi bisa berjalan tanpa parpol. Itulah sebabnya konstitusi, di mana pun, selalu memberi tempat penting pada parpol. Negara demokrasi tanpa parpol dapat mendorong munculnya pemerintahan yang sewenang-wenang. Oleh sebab itu, lebih baik ada parpol meskipun jelek daripada tidak ada parpol.
Yang paling penting sebenarnya bukanlah meniadakan parpol, melainkan memperbaiki parpol-parpol agar bisa bekerja sesuai dengan filosofi diadakannya parpol itu menurut konstitusi. Harus disadari, kemarahan Mas Tris dan jutaan orang lainnya terhadap parpol-parpol hanyalah tertuju pada parpol-parpol yang sekarang dan di sini. Tidak selamanya parpol itu jelek, tidak di seluruh dunia parpol itu buruk.
Di Indonesia pada masa lalu, sebutlah pada tahun 1950-an, kita memiliki parpol-parpol yang cukup efektif membawa aspirasi dan membela kepentingan rakyat. Di berbagai negara demokrasi sekarang ini banyak parpol yang mampu menampilkan dirinya sebagai pengemban amanat konstituennya. Jadi masalahnya adalah parpol sekarang dan di sini, bukan dulu dan di semua tempat lain. Kenyataan ini harus diartikan bahwa parpol itu bisa baik kalau mau dijadikan baik.
Tinggal-lah kesadaran dan iktikad baik para aktivisnya untuk memperbaikinya, sebab semua kebutuhan untuk menjadi baik telah disediakan oleh konstitusi negara kita. Upaya perbaikan internal parpol-parpol menjadi sangat penting, sebab kalau begitu begitu terus biasanya ada arus perubahan yang datang dari masyarakat dengan pemaksaan yang tak bisa dihindari. Ada pepatah, kalau demokrasi itu tidak diberi jalan, dia akan membuka jalannya sendiri.
MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
Sumber :
21 January 2012