berbagi informasi tentang Public Service. sementara fokus pada Pelayanan publik di Kota Semarang

Ancaman yang tak pernah disangka sebagai ancaman itulah sebenar-benarnya ancaman. Feodalisme misalnya. Sebagian sejarawan menafsir alasan ko...

Boros Feodal

Ancaman yang tak pernah disangka sebagai ancaman itulah sebenar-benarnya ancaman. Feodalisme misalnya. Sebagian sejarawan menafsir alasan kolonialisme menjadi begitu mudah merajalela bukan karena kekuatan mereka melainkan karena kecerdasan mereka.

Jumlah penjajah itu tak seberapa, tetapi sanggup menguasai wilayah yang sedemikian luas. Jadi tegasnya, penjajah itu menjadi cukong belaka dengan para feodalis sebagai mandor-mandornya. Maka tegasnya lagi, penjajahan sukses karena alatnya adalah pihak si terjajah itu sendiri. Menjadi mandor penjajah memang jauh lebih mudah ketimbang mengolah tanah.

Feodalisme sebagai alat penjajahan itu kini memang berubah wajah, tetapi tidak pernah benar-benar berubah. Ia memperbarui diri dengan menyasar siapa saja juga generasi muda tanpa kecuali. Anak-anak muda, yang melejit di orbit tinggi, lalu ramai-ramai tersandung korupsi misalnya, adalah bagian dari mata rantai kultur lama ini. Yang berbahaya dari feodalisme itu bukan soal hierarki, bukan tentang sebuah stratum yang menganggap dirinya setingkat lebih tinggi. Hierarki itu, dalam ukuran tertentu, apalagi jika basisnya pengetahuan, adalah soal yang bisa dimengerti. Adalah logis bahwa pihak yang berilmu, memang akan setingkat lebih tinggi.

Tetapi rasa lebih tinggi itu, menjadi berbahaya ketika mulai memasuki kecenderungan berikutnya, yakni meninggikan hampir semua: tinggi kedudukan, tinggi penghasilan, tinggi gengsi, tinggi keenakan. Artinya, rasa tinggi itu kemudian benar-benar menelan ongkos besar sekali. Celakanya, tidak semua yang merasa tinggi itu benar-benar tinggi. Banyak di antaranya yang sekadar meninggi-ninggikan diri dengan cara memoles diri di sana-sini. Polesan itu tidak gratis, tetapi malah mahal sekali, terutama di hari-hari ini. Inilah kemudian yang membuat Mahatma Gandhi menemukan dosa ketiga dari tujuh dosa sosial yang ia rumuskan: kekayaan tanpa kerja.

Ongkos peninggian diri itu akhirnya besar sekali, sementara penopangnya rendah sekali. Itulah awal kemunculan kesenjangan gaya dan sikap hidup. Gaya lebih penting ketimbang sikap. Ketika gaya meninggi, sikap. Jadi, ukuran ketinggian itu kini banyak berhenti hanya dalam masalah gaya. Maka mati-matian membiayai gaya menjadi kecenderungan sosial yang merajalela. Lalu dari mana biaya pemujaan atas gaya ini? Dari menciptakan peluang apa saja sepanjang bukan dari jalan berproduksi. Kenapa? Karena sikap berproduksi nyaris tidak ada dalam diri mereka. Kalau pun ada, lambat sekali lajunya dan yang menyalip kencang adalah laju mereka dalam bergaya. Tangan mereka terlalu lembut untuk bekerja dan tidak didesain untuk bekerja juga tidak benar-benar berniat bekerja kalau perlu malah menghindar dari kerja. Itulah dosa ketiga versi Gandhi.

Jadi, untuk membiayai sebuah masyarakat yang sibuk bergaya, sebuah negara bisa benar-benar membahayakan devisanya. Masyarakat yang hanya besar dalam gaya tetapi tidak besar dalam kerja akan rawan membiayai gayanya, setidaknya dengan dua cara. Yang pertama, utang, dan kedua, kriminalitas. Sungguh, kepada feodalisme jenis baru, Indonesia harus berwaspada. (62)
(/)

Sumber : suaramerdeka.com