berbagi informasi tentang Public Service. sementara fokus pada Pelayanan publik di Kota Semarang

MAU AMAN Duduk Manis Saja! Oleh  Rakhmat Hadi Sucipto Dalam perjalanan BUMN di bawah kementerian khusus, masih terus terjadi masalah yang uj...

MAU AMAN Duduk Manis Saja!

MAU AMAN Duduk Manis Saja!


Oleh Rakhmat Hadi Sucipto

Dalam perjalanan BUMN di bawah kementerian khusus, masih terus terjadi masalah yang ujungujungnya adalah ketidakefisienan perusahaan.


“Kalau mau lama dan dipakai terus, ya nggak usah cerewet. Nggak usah terlalu teliti dan rajin ngantor. Jadi komisaris itu duduk manis saja, malah beres!”

Begitulah curahan hati (curhat) dan pengalaman dari seorang mantan komisaris BUMN. Tentu saja dia sangat kompeten di bidangnya.

Dia sudah menyandang gelar tertinggi akademik, bahkan sudah bertahun-tahun menjadi guru besar pada sebuah universitas ternama di Indonesia. Tapi, posisinya di perusahaan pelat merah tak lama karena terlalu serius menjalankan tugasnya sebagai komisaris.

Padahal, niatnya rajin berkantor tak lain untuk ikut menjaga gerak perusahaan agar tetap pada trek. Dia ingin perusahaan bisa meraih target yang sudah ditetapkan. Atau dengan kata lain, para direksi dan jajarannya bisa memberikan wealth yang tinggi bagi shareholders.

Meningkatkan kinerja perusahaan milik negara terbukti sulit. Karena itu, dia merasa harus menjalankan amanat sebagai komisaris yang harus mengawasi atau mengontrol jalannya perusahaan. Itulah yang membuatnya sangat serius mengikuti perkembangan state company tersebut.

Tapi, nasib berbicara lain. Dia terpental karena dianggap terlalu mengawasi dan mengontrol kinerja perusahaan.

“Ini fakta setelah reformasi, Bung! Ba yangkan pada Orde Baru dulu,’’ katanya.

Ungkapannya benar. Banyak BUMN yang menjadi bancakan bagi sekelompok orang, partai politik, dan kelompok-kelompok lainnya. Tak perlu mengingat masa-masa Soeharto dulu. Tahun-tahun belakangan saja masih ada mantan jen deral yang duduk sebagai komisaris di BUMN meski tak kompeten di bidangnya.

“Jenderal itu tahu apa soal manajemen atau keuangan perusahaan?’’ kata mantan komisaris tadi. “Paling-paling juga kalau datang atau ngantor diam saja. Diberi laporan juga nggak bakal dibaca. Kalau dibaca juga percuma. Dia nggak bakal mengerti apa yang dia baca!”

Ironisnya, orang yang paham di bidangnya pun sering tak peduli dengan laporan-laporan kinerja perusahaan. Inilah yang tercium oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Saat ini suratmenyurat, laporan dari BUMN ke Kementerian BUMN terlalu banyak sehingga kerja perusahaan BUMN tidak berlangsung efektif. “Percuma membuat laporan terlalu banyak tapi tidak pernah dibaca, rapat terlalu sering tetapi belum tentu ada hasilnya,” ujarnya.

Itulah masalah yang membelit mayoritas BUMN di Tanah Air. Penempatan komisaris, bahkan beberapa direksi yang tak kompeten, sebenarnya hanya contoh kecil dari beragam masalah BUMN. Penempatan orang berkompeten tetapi tak punya tanggung jawab moral juga membahayakan perusahaan. Berbahaya karena mereka menjadi mesin uang bagi partai-partai politik. “Jangankan di BUMN, di departemen saja masih ada pejabat yang memang ditempatkan sebagai mesin uang,’’ ujar seorang pengu rus partai yang rekannya menjadi menteri di Kabinet Indonesia Bersatu I dan II.

Tidak heranlah banyak sekali BUMN yang gagal menunjukkan kinerja positif, bahkan terus menggerogoti uang negara karena merugi tiap tahun. Mereka terlilit utang sangat besar dan su lit keluar dari kerangkeng masalah karena tak mampu memperbaiki kinerjanya yang tak efisien.

Ironisnya masih ada direksi BUMN yang justru mendapatkan keuntungan dari masalah yang terjadi pada perusahaan yang dia pimpin. “Jangan pikir masalah yang muncul di BUMN itu tak menguntungkan para oknum direksi. Contoh kasus soal restrukturisasi utang. Makin lama perpanjangan pembayaran utang, makin banyak pula oknum-oknum direksi itu mendapatkan fee dari restrukturisasi utang itu,’’ ungkap seorang mantan direktur sebuah BUMN besar.

Direksi BUMN yang terpilih karena titipan dari kelompok-kelompok tertentu jelas menjadi benalu. Akibatnya, yang dia pikirkan pun hanya men cari setoran untuk kelompoknya. Kalau mun cul masalah pun dia berlindung di balik kekuatan kelompok atau partainya sehingga tak jarang terjadi masalah yang lebih pelik di internal perusahaan.

Dalam perjalanan BUMN di bawah kementerian khusus, masih terus terjadi masalah yang ujung-ujungnya adalah ketidakefisienan perusahaan. Konsep perbaikan perusahaan negara ini pun nyaris sama, mulai dari masa kepemimpinan Tanri Abeng hingga terakhir pada masa Mustafa Abubakar. Mudah-mudahan di tangan Dahlan Iskan bisa muncul gebrakan revolusioner.

Perjalanan menunjukkan konsep pembenahan BUMN bertumpuk-tumpuk. Sayang, realisasinya belum sesuai harapan.

Warna politik
Yang pasti, setiap kondisi politik mewarnai gerak langkah BUMN. Kehadiran menteri BUMN pada era Soeharto berbeda dengan masa BJ Habibie. Artinya, suasana hati dan strategi Tanri Abeng saat menjadi Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara pada 16 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998 di era Soeharto (Kabinet Pembangunan VII) tak sama ketika dia menjabatnya di Kabinet Reformasi Pembangunan pada 1998-1999 di bawah kendali BJ Habibie.

Dalam bukunya, Profesionalisme vs Politik: Tanri Abeng Menjawab, Tanri Abeng menulis begitu ditunjuk sebagai Menteri Pendayagunaan BUMN, saat hendak mewujudkan program-programnya, dia mendapat banyak hambatan. Muncul resistensi di mana-mana, khususnya dari “raja-raja kecil” yang tidak ingin kehilangan kekuasaan di BUMN yang telah dikang kanginya.

Sikutan datang silih berganti. Hambatan muncul dari menteri departemen teknis, politisi, maupun calo-calo jabatan yang demikian marak saat itu. Di Garuda Indonesia, misalnya, dia menemukan 22 jenis korupsi, mulai dari harga sewa pesawat hingga tisu. Ada pula menteri yang ingin menguasai distribusi minyak goreng dengan cara ‘menembak’ langsung ke Presiden Soeharto.

Profesionalisme harus berhadapan dengan lingkungan birokrasi yang sulit ditembus. Latar belakang sebagai mantan pemimpin puncak perusahaan swasta nasional dan multinasional dengan prinsip profesionalisme yang dianutnya secara murni berbenturan dengan fakta dan kon disi BUMN yang tak juga pernah bisa melepaskan diri dari tentakel-tentakel politik, bahkan hingga hari ini.

Begitu pula ketika Laksamana Sukardi menjadi Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN pada 1999-2000 (Kabinet Persatuan Nasional) saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden suasana dan nuansanya terasa berbeda. Kemudian, sejak 24 April 2000 terjadi perubahan yang cukup drastis karena jabatan ini dihapus kan. Jabatan tersebut muncul lagi pada saat Me ga wati Soekarnoputri terpilih menjadi presiden menggantikan Gus Dur pada 2001-2004 (Kabinet Gotong Royong, berganti nama menjadi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara) dan kembali memercayakan Laksamana Sukardi sebagai menterinya.

Meski sudah menapaki Reformasi, Laksamana masih menghadapi masalah pelik birokrasi dan kondisi politik yang justru menguat. Pada masa dialah muncul tragedi besar, yaitu lepasnya BUMN besar ke asing. PT Indosat dijual ke Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (ST Telemedia) milik Grup Temasek, Singapura, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai kebodohan yang sangat luar biasa. Selain Indosat menggarap industri strategis, harga jualnya saat itu dianggap terlalu murah.

Harapan besar muncul saat Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pertama yang terpilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum 2004. Pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I ada dua menteri yang pernah merasakan jabatan Menteri Negara BUMN. Orang pertama yang mendapat kepercayaan adalah Sugiharto. Namun, dia tak genap tiga tahun menjadi Menteri Negara BUMN. Pada 2007 Sofyan Djalil menggantikannya hingga berakhir kabinet pada 22 Oktober 2009.

Pada KIB II namanya berubah menjadi Kemen terian BUMN dan terpilih sebagai orang nomor satu di kementerian itu adalah Mustafa Abu bakar. Namun, dia hanya mampu menduduki kursi menteri sampai 19 Oktober 2011. Dia digantikan oleh Dahlan Iskan. Harapan ma kin besar karena Dahlan nonpartisan yang di ang gap bisa mewaspadai dan menghadapi trik-trik dan intrik-intrik parpol saat mengintervensi BUMN.

Inkonsistensi
Tapi, banyak pihak juga tak terlalu optimistis menyambut kehadiran menteri baru BUMN ini. Ini karena pemerintah terlalu sering inkonsisten melaksanakan program-programnya. Apalagi, belum ada skema yang benar-benar berbeda dengan generasi-generasi menteri sebelumnya. Di atas kertas, benang merahnya sama. Dengan kata lain, baru pada tataran konsep yang materinya sama.

Konsep Tanri Abeng hingga Dahlan selalu menggunakan kata kunci yang sama, yaitu restrukturisasi, reformasi, privatisasi, profitisasi, maupun pembentukan holding. Khusus untuk target pembuatan perusahaan induk, misalnya, hingga sekarang belum ada meski sudah direncanakan sejak dulu. Begitu juga dengan merger, akuisisi, rightsizing, atau regrouping.

Inkonsistensi lainnya terlihat dalam penetapan target dan kebijakan. Pemerintah sering merevisi target restrukturisasi, dividen, maupun pajak dari BUMN tanpa ukuran yang jelas. Ini menunjukkan rencana pemerintah tidak matang.

Pemerintah juga inkonsisten melaksanakan program yang sudah ditetapkan dalam Master Plan BUMN 2010-2014. Dalam rencana pembangunan lima tahun tersebut, pemerintah menargetkan merampingkan BUMN dari 141 menjadi 117 pada 2010. Lalu, pada 2011 akan menciut kan lagi hingga tersisa 102. Namun, mendekati akhir tahun 2011 rencana tersebut jalan di tempat. Bahkan, Dahlan Iskan malah baru akan me reduksi tujuh BUMN hingga akhir 2011 dari 141 BUMN dan delapan lagi pada kuartal pertama tahun depan. Sudah pasti, target hingga 2014 tak akan terpenuhi.

Birokrasi yang panjang dan terlalu besar juga sangat menghambat pemulihan BUMN. Buktinya, tugas membenahi BUMN tak hanya tanggung jawab Kementerian BUMN. PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) yang semula hanya menge lola aset eks BPPN, sesuai PP 61 Ta hun 2008 mendapat tambahan tugas merestrukturisasi dan merevitalisasi BUMN, mengelola aset BUMN dan kegiatan investasi. Lebih birok ratif lagi karena juga dibentuk Komite Restrukturisasi dan Revitalisasi BUMN yang berang gota kan Menteri BUMN, Menteri Keuangan, dan menteri teknis. Tugas komite ini antara lain mene tapkan BUMN yang akan direstrukturisasi dan/atau direvitalisasi oleh PT PPA serta skema restrukturisasi dan/atau revitalisasi yang akan diterapkan. Ibarat sebuah kelas berisi lima atau sepuluh murid, tetapi belajar di sebuah hall atau stadion.

Ini juga bagai menyapu ruangan sempit yang dikerjakan oleh banyak orang sehingga muncul free rider dan social loafing lainnya. Terlalu siasia karena banyak membuang waktu, energi, dan tentu anggaran.

Dengan demikian, Menteri BUMN tak lagi sebagai dirigen tunggal. Apalagi jika ada lobi pada masing-masing birokrat, tentu akan sulit mewujudkan program.

Bayangkan seandainya Menteri BUMN dirigen tunggal. Pasti dia akan leluasa memimpin orkestra. Dia tahu kapan harus mengayunkan stik ke kiri atau ke kanan atau harus mempercepat tempo. Bahkan, sewaktu-waktu dia bisa melecutkan stiknya pada para direksi yang lamban bekerja atau gagal menunjukkan performa yang baik. Apalagi, yang memahami permainan adalah sang dirigen, bukan penonton, bahkan pemain top dan andal sekalipun harus menurutinya.

Pekerjaan rumah membenahi BUMN memang tak makin sedikit, tetapi menumpuk. PPA yang seharusnya bisa memberi obat penenang pun sering mengeluh. Adakah harapan menjadi kenyataan? Kita lihat saja kenyataannya.



KONSEP PEMBENAHAN BUMN DARI MASA KE MASA

TANRI ABENG
Menciptakan blue print BUMN dengan menawarkan ide holding BUMN. Memperbaiki kinerja BUMN dari yang dulu hanya menjadi beban APBN menjadi lumbung pembayar utang negara. Konsep dasar programnya yang sering disebutnya sebagai blue print BUMN meliputi restrukturisasi, profitisasi, dan privatisasi. Namun, konsep perusahaan induk tak terwujud hingga akhir jabatannya.

LAKSAMANA SUKARDI
Reformasi BUMN bertumpu pada privatisasi. Konsep privatisasi cenderung fokus pada private placement atau mencari mitra strategis. Langkah ini diambil dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan anggaran (APBN) dan membayar utang negara. Kejadian sensasional dari langkah tersebut salah satunya adalah penjualan PT Indosat kepada Grup Temasek, Singapura.

SUGIHARTO
Holding BUMN tidaklah mudah pelaksanaannya karena selain bergantung pada kondisi objektif di lapang an, integrasi BUMN tidak dapat dipaksakan, harus natural, atau melalui kesadaran. Strateginya adalah restrukturisasi, profitisasi, dan privatisasi. Profitisasi perlu diimbangi dengan fleksibilitas pay-out ratio kepada masing-masing BUMN sehingga setoran dividen kepada APBN jangan seperti dipaksakan. Privatisasi adalah resultan dari profitisasi yang optimal. Kalau privatisasi dijadikan satu-satunya target, akan merusak sentimen pasar ketika perusahaan tersebut go public. Jika privatisasi dijadikan target setoran APBN maka strategi kita dengan mudah dibaca pasar sehingga harga BUMN yang akan diprivatisasi ditekan. Karena pasar tahu itu untuk mengejar setoran, harga berapa pun akan dilepas. Intrik-intrik dan perbedaan pendapat membuat dia dicopot dari jabatannya.


SOFYAN DJALIL
Tidak ada konsep baru dalam membenahiBUMN. Dimotori olehMenko Perekonomianwaktu itu, Boediono, dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati,Sofyan hanya menggagas revitalisasi dan merger terhadap 100 perusahaan. Lalu, rencana berubah dengan menyatakanakan menjual 44 BUMN. Kebi-jakan privatisasi itu bahkan sem-pat ditetapkan dalam surat kepu-tusan yang diteken Boediono 31Januari 2008. Menargetkan pengurangan BUMN dari 142 menjadi69 BUMN pada 2009. Mematok target privatisasi BUMN ke APBNsebesar Rp 1,5 triliun. Namun, hingga akhir jabatan pada 22 Okto-ber 2009 tak ada rencana revitalisasi dan merger yang terwujud.

MUSTAFA ABUBAKAR
Mengedepankan konseprestr ukturisasi, privati-sasi, regrouping, dan rightsizing. Menetapkan 24 BUMN masuk program rightsizing, yaitu seluruh PT PerkebunanNusantara (PTPN I hingga XIV), PTRajawali Nusantara Indonesia (RNI),PT Pelindo I-IV, Inhutani I-V dan Perhutani, serta BUMN Farmasi (PT Kimia Far ma Tbk, PT Indofarma Tbk, dan PT Bio Far ma). Tahun 2011 BUMN ditargetkan berkurang berturut-turut menjadi 102 dari 141(2010), 91 (2012), 85 BUMN pada 2013, dan 78 BUMN pada2014. Menawarkan pembentukan holding BUMN perkebunan dan kehutanan. Hingga akhir jabatan karena reshuffle, dia gagal merealisasikan programnya.

DAHLAN ISKAN
Mengikis hingga 50persen kegiatan surat-menyurat, pembuatanlaporan, dan rapat-rapat yang tidak penting. Program lainnya:
- Memangkas 15 BUMN hingga kuartal pertama 2012 sehingga jumlah BUMN menjadi 126 dari141.
- Mengeluarkan aturan yangmelarang komite ikut rapat di-reksi pada setiap BUMN.
- Menerapkan kebijakan dividenBUMN 10-45 persen.
- Memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada masing-masing BUMN untuk melakukan aksi korporasi.
- Menghapus moral hazard di BUMN.
- Menciptakan iklim kondusif dan kekompakan antardireksi.
- Mencegah dan menghilangkan inter vensi terhadap BUMN.
- Regrouping BUMN dan membentuk holding pada 2012. Holdingkhusus untuk BUMN sektor perkebunan dan kehutanan,sedang kan regr ouping untuk BUMN farmasi. Holding perkebunan ditar getkan efektif pada 31 Januari 2012, kehutananpada 28 Februari 2012, dan regrouping akhir Juni 2012.

Sumber :