berbagi informasi tentang Public Service. sementara fokus pada Pelayanan publik di Kota Semarang

Balaikota Semarang geger, KPK kemarin menangkap Sekda Achmad Zaenuri, dua anggota DPRD Sumartono (Partai Demokrat) dan Agung Purno Sarjono s...

Tradisi Lobi 'Setengah Kamar'

Balaikota Semarang geger, KPK kemarin menangkap Sekda Achmad Zaenuri, dua anggota DPRD Sumartono (Partai Demokrat) dan Agung Purno Sarjono serta dua orang staf Pemkot Semarang. Penangkapan itu diduga terkait dengan upaya penyuapan dari eksekutif terhadap anggota Dewan yang sedang membahas APBD 2012. Saat ini pembahasan tersebut memasuki tahapan di Badan Anggaran (Banggar).

Kita menghomati asas praduga tak bersalah. Namun demikian kita pun tidak terlalu kaget jika akhirnya terbukti ada upaya penyogokan kepada anggota DPRD untuk memuluskan pembahasan anggaran tersebut. Praktik seperti ini sebenarnya sudah jamak terjadi, baik di DPR, DPRD Provinsi, maupun DPRD Kabupaten/kota.

Pembahasan sering molor bukan semata rumitnya pagu anggaran yang harus diteliti secara seksama oleh wakil rakyat, namun kadang lebih dipengaruhi oleh kepentingan. Jangan terkesima dulu jika mendapati anggota Dewan yang terkesan kritis menyikapi anggaran yang disodorkan eksekutif. Ada di antara mereka sikap seolah kritis tersebut karena ada udang dibalik batu. Posisi tawar yang tinggi anggota dewan saat membahas anggaran sering berujung adanya uang sogok demi mulusnya anggaran yang diajukan. Tak heran pula jika kita sering mendengar adanya calo anggaran di parlemen.

Untuk kasus yang menimpa Balaikota Semarang, bisa jadi ini sebuah akumulasi dari membudayakan praktek suap setiap pembahasan anggaran, sehingga ada yang geregetan kemudian melaporkannya ke KPK. Sudah lama kalangan eksekutif mengeluhkan ‘parahnya’ mental anggota DPRD. Dari hal yang kecil seperti proyek-proyek Penunjukkan Langsung (PL), banyak yang ketika dibahas di tingkat komisi, sudah banyak dipesan untuk anggota dewan. Bisa dibayangkan terhadap mata anggaran yang disodorkan dan bernilai besar, bisa jadi membutuhkan ‘pelicin’ yang lebih besar pula. Maka tidak kaget jika KPK akhirnya turun tangan.

Dua Pihak

Siapa yang salah dalam hal ini? Tentu kedua belah pihak. Eksekutif semestinya jika tanpa kepentingan pribadi dan kelompok, kenapa harus susah-susah mengambil jalan pintas jika memang program berikut anggarannya benar-benar untuk memikirkan rakyat. Sepanjang argumentasinya bisa diterima dan programnya bisa dipertanggungjawabkan, sebesar apapun nilainya semestinya memiliki keberanian untuk memoperjuangkan gar anggaran bisa gol.

Di pihak lain, dewan seolah menjadikkan setia pembahsan anggaran sebagai peluang untuk meraup keuntungan pribadi. Sikap kritis yang dikedepankan tak selamanya murni karena memiliki komitmen agar anggaran tepat sasaran, tidak boros dan berorientasi untuk rakyat yang diwakili. Yang sering muncul justru alotnya pembahasan karena penuh kepentingan, maka kongkalikong akhirnya ditempuh lewat model lobi-lobi informal berujung suap.

Fenomena semacam ini ibaratnya sudah ‘lagu lama’ bahkan berlangsung sejak era orde baru. Istilah yang sering digunakan orde baru adalah lobi ‘setengah kamar’. Maksudnya, di luar pembahasan resmi, baik di tingkat komisi maupun badan anggaran, bahkan pimpinan Dewan, ada perwakilan dari unsur eksekutif dan unsur legislatif untuk bertemu di luar forum. Dari lobi-lobi itulah sering endingnya adanya deal uang pelicin. Jika sekarang semakin subur praktek semacam itu, karena banyak faktor pemicunya. Selain mental dari wakil rakyat dan pejabat eksekutif, model pemilihan Kepala Daerah secara langsung maupun pemilihan Anggota Dewan dengan sistem Suara Terbanyak ikut memberi andil. Dengan besarnya modal yang harus dikeluarkan seseorang untuk bisa menduduki kepala daerah/wakil kepala daerah serta anggota dewan, maka tak heran jika mereka berfikir pragmatis saat menjabat untuk ‘mengembalikan modal’. Gaya hidup pejabat (eksekutif dan legislatif) yang glamor juga menjadi pemicu untuk korp. Jika di senayan sedang jadi sorotan banyaknya anggota DPR yang bermobil mewah, fenomena yang serupa pun menjangkit di daerah. Di Jateng tak terkecuali. Anggota dewan dan eksekutif berlomba untuk tampil dengan mobil berkelas, untuk ukuran daerah. Belakangan ini eksekutif juga mulai gandrung motor besar harley Davidson yang harganya selangit. Mengandalkan gaji resmi dari jabatannya tentu hal yang mustahil untuk bisa memenuhi ambisi untuk tampil wah semacam ini.

Kasus yang menghebohkan Balaikota Semarang ini semoga menjadi pelajaran bagi daerah lain, juga lingkup yang lebih besar lagi utamanya Pemrov Jateng. Praktik-praktik semacam ini harus segera dihentikan, jika tidak negara ini makin rusak. Dengan dalih memperjuangkan rakyat lewat anggaran di APBD, ternyata sering hanya dijadikan lahan untuk mempekaya diri sekelompok orang yang menduduki jabatan eksekuti maupun legislatif.

Di pihak lain, juga perlu dievaluasi sistem rekruitmen anggota Dewan maupun pemilihan kepala daerah. Pemilihan wakil rakyat dengan sistem suara terbanyak belum menjamin akan mendapatkan legislator yang sesuai harapan. Begitu pula Pilkada Langsung tak selalu berbanding lurus akan mendapatkan pemimpin yang tulus memikirkan rakyat tanpa pamrih. Banyak yang harus dibenahi untuk menghindari praktek-praktek korupsi. Di sisi lain aparat penegak hukum selain KPK, dalam hal ini kepolosian dan kejaksaan harus lebih gigih lagi dalam menjalankan tugasnya agar korupsi tidak kian menjadi-jadi. Penangkapan Sekda dan dua anggota DPRD Kota Semarang ini semoga menjadi entry point bagi KPK untuk mengungkap kasus yang lebih besar lagi.

Sriyanto Saputro
Wartawan Wawasan 

Sumber : Wawasan, 25 November 2011