Acara pembukaan yang dimulai pukul 09.30 akhirnya baru selesai pukul 12.00. Selama 2,5 jam para narasumber workshop yang antara lain ada seorang doktor dan seorang pejabat nonstruktural setara eselon II provinsi, dipaksa menyimak pidato tiga pejabat tersebut. Luar biasa bakat retorika mereka. Saking berbakatnya, tidak ada seorang pun di antara para pejabat terhormat itu yang mampu memberikan solusi atas keluhan para pegawai honorer.
”Semoga ada mukjizat agar keinginan Saudara-saudara menjadi PNS dapat terpenuhi,” kata salah seorang pejabat itu, yang disambut tepuk tangan para pegawai honorer.
Setali tiga uang. Pembicara yang tidak mampu memecahkan masalah disambut meriah pegawai honorer yang terbuai mimpi.
Workshop akhirnya baru dimulai setelah lewat tengah hari, nota bene setelah para pegawai honorer yang sudah cukup senang dengan kata ”mukjizat” itu kelelahan sebagai pendengar. Suasananya mirip betul dengan acara kelompencapir di masa Orde Baru silam, acara yang terkenal karena ia satu-satunya ”hiburan” di satu-satunya saluran televisi nasional.
Pada acara kelompencapir itu, biasanya pejabat akan berbicara panjang lebar, dan pendengarnya akan dengan setia duduk berjam-jam meski sambil terkantuk-kantuk. Itu dulu, ketika Indonesia masih otoritarian dan pola pemerintahannya masih pangreh praja.
Di era reformasi ini, ketika tata kelola pemerintahan harus terbuka dan efisien (good governance), pejabat adalah pelayan masyarakat. Pola pemerintahan harus pamong praja. Pejabat harus lebih banyak mendengar, bukan berbicara. Dari mendengar itu, akan banyak aspirasi yang diserap dan kemudian diwujudkan dalam kebijakan publik yang partisipatoris.
Sebenarnya konsep good governance sudah ketinggalan untuk menghadapi globalisasi yang ganas. Globalisasi yang menuntut daya saing tinggi bangsa hanya bisa dilawan dengan konsep reinventing government -nya David Osborne dan Ted Gaebler (1993).
Dalam konsep reinventing government, pejabat pemerintahan bukan lagi sekadar melayani masyarakat, tapi sudah harus memberdayakan masyarakat. Mereka harus mengembangkan prakarsa dan kreativitas masyarakat, berbicara dan bekerja lebih efisien, tidak tergantung pada siklus anggaran. Pegawai dan pejabat yang waktunya habis untuk ngerumpi dan kongkow-kongkow di kantor sudah bukan zamannya lagi.
Namun, apa boleh buat, mewujudkan good governance saja masih kedodoran. Penyebabnya ya itu tadi, masih banyak pejabat dengan konten tempo doeloe, hanya kesingnya saja yang terkesan moderen. Mereka tidak berorientasi problem solving, justru sebaliknya problem making.
Dengan pidato berkepanjangan, cukup banyak masalah yang timbul. Simpati hilang, citra tenggelam, waktu untuk orang lain tersita, tidak mampu menghargai audiens, mengabaikan protokoler, tidak efisien, dan gagal memberdayakan masyarakat.
Sumber : Blog.suaramerdeka.com