
PEMERINTAH memberikan sinyal akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai 1 April mendatang. Sinyal itu muncul dari rapat kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik dengan Komisi VII DPR, pekan lalu.
Opsi untuk menaikkan harga bensin dan solar menjadi terbuka jika UU APBN 2012 direvisi. Pemerintah menyatakan akan segera mengajukan draf Rancangan APBN Perubahan 2012.
Melalui draf itu, ketentuan yang terdapat dalam UU APBN 2012 dapat diperbaiki.
Sebagaimana diketahui, dalam APBN 2012, pemerintah hanya dapat mengurangi subsidi BBM dengan cara membatasi pemakaian BBM bersubsidi bagi mobil pribadi mulai 1 April 2012.
Opsinya hanya mengurangi subsidi, tidak menaikkan harga. Padahal, infrastruktur untuk penyediaan BBM nonsubsidi belum siap. Selain itu, mekanisme pengawasan
distribusi BBM bersubsidi tergolong rumit dan memerlukan biaya besar.
Di lain pihak, harga minyak mentah dunia telah berada di atas asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam APBN 2012 yang ditetapkan 90 dolar AS per barel.
Akibat konflik politik di Timur Tengah, terutama penghentian ekspor minyak Iran ke Eropa, ICP bulan Januari lalu menembus harga 115,91 dolar AS per barel. Harga di bulan Februari mencapai 121,75 dolar AS.
Untuk menekan subsidi dalam APBN, pemerintah mengajukan dua opsi. Pertama, menaikkan harga jual eceran bensin dan solar Rp 1.500 per liter. Kedua, memberikan subsidi tetap yang besarnya maksimum Rp 2.000 per liter untuk bensin dan solar.
Menurut hasil kajian Universitas Indonesia, kenaikan harga bensin dan solar Rp 1.500 per liter akan memicu kenaikan inflasi 2,15 persen, penurunan daya beli 2,10 persen, penambahan kemiskinan 0,98 persen, dan penghematan subsidi BBM nasional sebesar Rp 31,58 triliun.
Kalau subsidi ditetapkan Rp 2.000 per liter, inflasi akan naik 2,43 persen, daya beli akan turun 2,37 persen, kemiskinan bertambah 1,15 persen, dan subsidi BBM nasional yang bisa dihemat sebesar Rp 25,77 triliun.
Masing-masing opsi tentu punya kelebihan dan kelemahan. Opsi pertama, menaikkan harga eceran bensin dan solar Rp 1.500 per liter, akan membuat beban subsidi menjadi fluktuatif sesuai naik turun harga ICP dan perubahan volume penggunaan BBM.
Opsi kedua, menetapkan subsidi Rp 2.000 per liter, akan membuat harga BBM berubah-ubah sesuai dengan fluktuasi harga ICP. Kombinasi opsi sekarang tergantung pada pemerintah, sasaran mana yang lebih diutamakan dalam menetapkan kebijakan subsidi BBM.
Opsi Kombinasi
Jika yang ingin dicapai adalah pengendalian beban subsidi, maka opsi kedua yang harus dipilih. Kalau yang menjadi target adalah pengurangan beban subsidi premium dan solar, maka opsi pertama lebih tepat.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto, dua opsi tersebut sebenarnya bisa dikombinasi. Caranya, harga BBM dinaikkan lebih dulu agar subsidi sesuai asumsi APBN saat ini.
Setelah itu, pada angka tersebut subsidi dipatok secara tetap. Jika subsidi dipatok secara konstan, besaran subsidi sebaiknya berkisar Rp 2.500-Rp 3.000 per liter. Besaran itu dimaksudkan agar tidak terlalu memberatkan masyarakat dan hal itu berkorelasi dengan kenaikan harga BBM dengan kisaran Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per liter.
Artinya, kalau subsidi hanya Rp 2.000 per liter, pemerintah harus menaikkan harga BBM sekitar Rp 2.500 per liter. Kenaikan itu dinilai terlalu besar dan akan memberatkan masyarakat.
Masalahnya, dampak kenaikan BBM akan selalu diikuti oleh kenaikan harga-harga komoditas lain yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Dampak kenaikan harga kebutuhan lain yang terkait langsung, misalnya tarif angkutan dan harga-harga barang kebutuhan pokok.
Yang tidak terkait langsung, misalnya harga barang-barang elektronik dan biaya pendidikan. Karena itu, selain mempertimbangkan kombinasi dari dua opsi kebijakan tersebut, pemerintah perlu merancang kompensasi yang tepat bagikelompok masyarakat yang paling rentan terkena dampak kenaikan harga BBM.
Bentuk kompensasi tersebut sebisa mungkin menghindari bias dan distorsi dalam pelaksanaannya. Model bantuan langsung tunai (BLT) seperti dipraktikkan di masa lalu terbukti menimbulkan distorsi dan penyelewengan di lapangan.
Akibatnya, kompensasi tidak mengenai sasaran. Jadi, selain model dan sasaran yang pasti, kompensasi kenaikan BBM memerlukan mekanisme yang jelas dan terukur.