berbagi informasi tentang Public Service. sementara fokus pada Pelayanan publik di Kota Semarang

ADA dua bangunan di kota yang pemanfaatannya sulit secara optimal jika proses pembangunannya tidak melibatkan masyarakat. Dua bangunan itu a...

Partisipasi Pembangunan Kota, ditulis oleh Saratri Wilonoyudho

ADA dua bangunan di kota yang pemanfaatannya sulit secara optimal jika proses pembangunannya tidak melibatkan masyarakat. Dua bangunan itu adalah pasar dan terminal. Kisah pembangkangan para sopir masuk Terminal Mangkang Semarang sudah dapat diduga. Terminal yang dibiayai amat mahal tersebut, sampai saat ini masih terus menuai protes terutama dari awak angkutan umum.

Sebelumnya, kualitas fisik terminal terbesar di Semarang ini juga diragukan. Biasa di zaman desentralisasi ini, biaya politik amat mahal. Cerita Terminal Mangkang merupakan kisah sederetan terminal yang tidak optimal sampai saat ini, sepert Terminal Sisemut Ungaran dan Bahurekso Kendal.

Bangunan lain yang juga sering menimbulkan kontroversi adalah pasar. Sudah banyak pasar yang terbakar (atau dibakar) yang kemudian juga memunculkan gerakan protes karena ketidakadilan, baik lokasi maupun ”aura” pasar tidak kondusif untuk berdagang.

Pelajaran berharga yang dapat ditarik dari peristiwa tersebut adalah perlunya pemkot mengajak bicara stakeholders setiap kali merencanakan pembangunan fisik. Kisah Wali Kota Solo Jokowi yang sukses memindahkan para PKL tanpa gejolak adalah contoh nyata tentang partisipasi dalam pembangunan kota. Sebenarnya rumusnya sederhana, yakni siapa pun yang merasa di-uwongake pasti akan patuh jika diajak ke arah kebaikan.

Karenanya, jika sebelum pembangunan terminal misalnya, ada musyawarah antarpemangku kepentingan, pasti semua akan berjalan lancar. Kegigihan dan kesabaran Jokowi yang sabar menunggu sampai pertemuan yang ke-57 kali dengan PKL menunjukkan bahwa apapun masalahnya dapat diselesaikan. Bahkan semuanya berakhir dengan baik karena tidak ada yang menang dan tidak ada yang merasa dikalahkan. Orang Jawa bilang menang tanpa ngasorake.

Perencanaan Advokatif

Jika sebelumnya Pemkot Semarang intensif bermusyawarah dengan para pemangku kepentingan tentu hasilnya akan lain. Tidaklah rugi jika misalnya harus bermusyawarah sampai 100 kali, dibandingkan dengan gerak cepat membangun terminal dan ternyata ribut terus sampai saat ini? Keributan ini tentu menyedot banyak energi yang diperkirakan biayanya —baik sosial atau ekonomi— justru lebih mahal ketimbang sedikit bersabar untuk bermusyawarah. Orang Jawa bilang ana rembug ya dirembug.

Bukan rahasia lagi, nafsu membangun kadang terkait dengan model pembangunan yang hanya menyukseskan semangat ”tidak boleh ada sisa anggaran”. Banyak kasus anggaran harus habis bagaimanapun caranya, sebab jika tidak maka konduite yang bersangkutan jelek.

Paul Davidoff mengusulkan perencanaan kota yang bersifat advokatif, dan bukan hanya serbamengatur atau menetapkan dari atas (regulatif). Perencanaan advokatif membuka peluang bagi kelompok masyarakat yang jarang didengar aspirasinya untuk menyampaikan pendapat atau usul sesuai kepentingannya, untuk disenyawakan dengan kepentingan yang lain.

Dengan kata lain, perencana kota bertindak bagaikan advokat, agar proses perencanaan kota tidak lagi bersifat otoriter, namun egaliter (Budihardjo,2000).

Contoh perencanaan kota partisipatif yang fenomenal adalah karya Romo YB Mangunwijaya dalam memberdayakan masyarakat lembah Code Yogyakarta. Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai diajak memperkuat tanggul sekaligus menghijaukannya, serta membuat rumah sederhana yang indah dan sehat. Karya itu sukses, Code menjadi bersih dan indah, sungai terawat baik dan kehidupan sosial berubah membaik.

Akhirnya, tuntutan perencanaan partisipatif harus diperhatikan karena dalam perencanaan kota dibutuhkan banyak data dan informasi.

Demikian pula data sosial-ekonomi-budaya juga sangat diperlukan selain data kuantitatif seperti data fisik Dengan demikian perlu koordinasi dan komunikasi. Tidak kalah pentingnya adalah kepekaan dan daya tanggap birokrasi pembangunan kota. (10)